Kamis, 30 Juni 2011

Pro kontra meluas berkait usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa harap bagi orang kaya menggunakan BBM jenis Premium yang disubsidi pemerintah. Tak sedikit yang menganggapnya tak perlu, dan bahkan menentangnya. Termasuk di kalangan ini adalah para petinggi partai Islam sendiri.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal, misalnya, menilai tak pada tempatnya MUI mengeluarkan fatwa soal BBM. Menurut dia, ini bukan persoalan agama tapi soal kebijakan. Dia berharap para pembuat kebijakan menempatkan ulama pada proporsinya. “Jangan jadikan ulama tameng bagi kebijakan pemerintah. Itu merendahkan ulama,” ujar Mustafa menegaskan .

Menurut dia, pemerintah harus mengambil kebijakan secara mandiri dan lantas mempertanggungjawabkannya. “Soal BBM ini kok malah seperti menaruh ulama di depan. Seharusnya pemerintah yang berada di depan,” katanya.

Geger fatwa haram BBM ini berawal dari pertemuan antara MUI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Saleh. Adalah Ketua MUI KH Ma'ruf Amien yang pertama kali melontarkan gagasan ini. Alasannya, ini penting karena efisiensi energi dan sumber daya alam sesuai dengan ajaran agama Islam.

Meski demikian, Ketua MUI yang lain, Amidhan, menegaskan hal ini masih sekedar wacana. ”Belum dibahas di komisi fatwa MUI karena itu baru usulan, belum resmi ditetapkan sebagai fatwa," kata dia.

Amidhan menjelaskan ditinjau dari segi hak, subsidi adalah jatah orang miskin. Maka, tidaklah etis jika orang mampu ikut menikmatinya. Tidak pada tempatnya orang kaya yang mampu membeli mobil mewah membeli BBM jenis Premium yang disubsidi pemerintah. “Mengambil jatah orang miskin bisa mengarah ke haram,” ujarnya.

Senada dengan koleganya dari PKS, Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy menilai  fatwa haram BBM ini, kalaupun ditetapkan, tak akan efektif. “Ada atau tidak ada fatwa soal BBM, akan sama saja. Jangankan fatwa, UU yang berkekuatan hukum tetap saja banyak dilanggar,” katanya.

Apalagi, tambah dia, aturan fatwa tidak didukung oleh perangkat hukum maupun institusi penegak hukum. “Kalau produk agama, hendak ditaati atau tidak kan terserah masing-masing orang,” Romahurmuziy meragukan.

Meski demikian, dia menilai MUI memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa soal BBM. Ini karena MUI adalah lembaga agama yang berperan menjaga kemaslahatan umat. “Fatwa semacam itu biasa, dan memang betul,” katanya, “Tapi ingat, harus dipisah antara produk fatwa dan kebijakan pemerintah.”

Romahurmuziy melihat landasan argumen usulan fatwa itu sejalan dengan UU Energi, yang menyatakan bahwa pemerintah menyediakan subsidi kepada masyarakat tidak mampu. “Masalahnya, dalam rapat antara Kementerian ESDM dengan DPR terungkap bahwa 85 persen BBM bersubsidi seperti Premium, dinikmati oleh masyarakat mampu. Sementara itu, 15 persen sisanya baru menetes kepada masyarakat tidak mampu,” dia menambahkan, “Bila menggunakan BBM bersubsidi, bisa dibilang mereka memakan rezeki masyarakat tidak mampu.”

Dalam rilis persnya, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa mereka menerima aspirasi dan kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat, dan tidak pernah memanfaatkan, mengandalkan atau mendompleng MUI untuk memutuskan kebijakan terkait BBM.

"Kementerian ESDM bekerja secara profesional sesuai amanah dan kewenangan konstitusi untuk menunaikan tugasnya. Tak ada yang keliru sama sekali dengan menerima MUI atau lembaga mana pun yang berniat baik untuk bersama membangun bangsa," demikian dinyatakan rilis itu.

Dalam pertemuan itu, dijelaskan dalam pernyataan itu, MUI menyampaikan usulan Fatwa Pertambangan dan Energi serta mengundang Kementerian untuk menjalin kerja sama dalam program penataan dan pemanfataan energi. “Sikap dan keputusan MUI terkait fatwa kebijakan Kementerian ESDM merupakan otoritas dan kewenangan MUI sesuai bidangnya secara independen. Secara kelembagaan, Kementerian ESDM memberikan informasi dan penjelasan terkait berbagai kebijakan yang menjadi pertanyaan atau ide yang berkembang dalam silaturahim.”

Naikkan harga saja?
Dari kalangan ahli, penolakan disuarakan pengamat perminyakan Kurtubi. Dia juga menilai fatwa itu tidak perlu ada. Dia justru berpendapat, lebih efektif jika pemerintah segera saja  menaikkan harga BBM. "Namun, pemerintah harus menjelaskan kepada rakyat bahwa dana yang dihemat dari kenaikan BBM ini akan dipakai untuk infrastruktur atau program pemerintah lainnya," ujar Kurtubi di Jakarta, Rabu, 29 Juni 2011.

Agar APBN tak jebol karena menggelembungnya subsidi BBM, Kurtubi mengusulkan agar pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi Rp1.000 per liter, dari Rp4.500 menjadi Rp5.500.  

Fatwa, tambah dia, tak akan menyelesaikan masalah subsidi BBM yang sudah laten sejak 30 tahun lalu. “Kalau sekarang difatwakan haram, sulit diterima oleh nalar,” katanya. Apalagi, haram dan halalnya sesuatu sifatnya relatif. “BBM di Mekkah dan Madinah murah-murah saja. Kalau di Indonesia haram, di negara Islam yang lain tidak, kan aneh,” kata Kurtubi.

Begitu pula pendapat Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Dr. Purbaya Yudhi Sadewa. Dia pun menilai efektifitas fatwa MUI akan kecil. “Kalau mau tegas, yang melanggar harus dihukum. Fatwa berkaitan dengan unsure kepercayaan, jadi tidak terlalu nyata sanksinya,” kata dia.

Yudhi mengingatkan persoalan ini amat mendesak dicarikan solusinya. Sebab, konsumsi BBM bersubsidi meningkat terus, sehingga membenani keuangan negara. Dia lebih cenderung pada opsi agar pemerintah menetapkan peraturan yang jelas dan tegas untuk membuat orang mampu memakai Pertamax. “Kalau yang paling gampang, untuk mengurangi anggaran naikkan harga BBM bersubsidi,” tambah dia.

Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat itu bukan pilihan yang gampang. Kepala BPS Rusman Heriawan memperkirakan angka inflasi justru akan melonjak lebih tinggi jika harga Premium dinaikkan--mencapai 0,25 persen jika harga Premium naik Rp500 per liter, dan 0,5 persen jika lebih mahal Rp1.000. BPS memprediksi, lonjakan angka inflasi akan lebih kecil jika ditempuh kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. "Opsi itu tambahan inflasinya lebih kecil, yaitu 0,2 persen," ujarnya. Lho?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar